CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

2014년 6월 7일 토요일

Oneshot/ When I Realize...

Oneshot/ When I Realize...

Tittle    : When I Realize…
Genre  : Romance, Marriage Life
Length : Oneshot
Rated  : PG-15
Main Cast: Kim Jongwoon (Yesung), Choi Jeri, Park Jungsoo
Author : Amna
Twitter: AmnaMinhae18
Facebook: Amna Hyunjoong Hanexshagai
Disclaimer: This ff is pure from my imagination. Don’t ever try to copycat! Plagiator go away…eh..eh..eh.. *nyanyi brg 2ne1* #plaak



            STORY BEGIN…

Ckleek!
Aku berjalan memasuki apartemenku sembari mengurut leherku yang terasa sangat kaku. Berjam-jam dikantor dan mempelajari berkas-berkas membuatku merasa tercekik. Yah.. aku harus lebih berusaha karena sebentar lagi perusahaanku akan mengeluarkan label terbaru. Aku tidak ingin mengecewakan konsumen yang selama ini sangat puas dengan produk-produk yang dikeluarkan oleh perusahaanku jadi aku sudah memperhitungkan segalanya dengan rinci. Kuharap tidak akan satu satu kesalahanpun untuk peluncuran produk ini.
            Langkahku terhenti begitu melihat sosok yang duduk diatas sofa sembari menyesap minumannya. Majalah bisnis terbentang di depannya. Lucu sekali rasanya jika ia membaca majalah itu karena menurut pengakuannya sendiri ia tidak menyukai bisnis. Kujatuhkan tasku ke sofa lalu berjalan menuju dapur untuk membasahi tenggorokanku yang kering. Aku kembali lagi keruang tamu dan mengambil tasku, mengabaikannya yang jelas-jelas sedang menatap kearahku.
“Kau sudah makan malam?” tanyanya. Aku mengangguk kecil sebelum benar-benar melangkahkan kakiku menuju kamar. Aku lelah, ingin mandi dan butuh penyegaran.

***

            Kurasakan tempat tidurku bergerak saat seseorang naik keatasnya. Kubuka mataku perlahan dan mendapatinya yang tidur terlentang seraya menatap langt-langit kamar. Jam menunjukkan pukul 1 dinihari.
“Sebaiknya kau tidur…” ujarku dan membuatnya mengalihkan pandangan kearahku. Sebenarnya aku kasihan melihatnya karena dia adalah penderita insomnia. Sering kali dia menghabiskan malam hanya dengan membaca buku karena dia sama sekali tidak bisa tidur dan keesokan harinya ia akan bekerja dengan lingkar mata hitam seperti panda.
“Boleh aku memelukmu?” Tanya pelan. Kutatap matanya yang seolah memelas. Akhirnya kuanggukkan kepalaku memenuhi permintaannya dan dia segera menarikku dalam pelukannya.
            Kurasakan darahku berdesir saat dia memposisikan kepalaku di dadanya, membuatku bisa mendengar dengan jelas detak jantungnya yang menenangkan. Wajar aku merasa seperti ini karena skinship yang kami lakukan bisa di hitung dengan jari. Itupun hanya sekedar pelukan biasa seperti yang ia lakukan sekarang atau hanya sekedar formalitas karena kami sedang bersama relasi. Elusan lembut dirambutku membuatku merasa sangat nyaman tapi jujur saja walaupun sudah hampir 6 bulan kami bersama tapi masih ada sudut hatiku yang masih belum menerimanya.

***

            Hari ini, ditengah kesibukanku yang begitu padat aku menyempatkan diri untuk memenuhi undangannya. Dia adalah seorang guru vocal disebuah sekolah music dan hari ini sekolah musiknya itu mengadakan acara anniversary 20 tahunnya berdiri sekolah.
            Gaun hitam panjang  tanpa lengan yang semakin memperlihatkan tubuhku yang semampai, rambut yang sengaja ku gulung keatas dan menyisakan beberapa helai rambut di pipiku serta high heel hitam dengan glitter yang menghiasi seluruh sudutnya membuatku merasa bahwa penampilanku ini sempurna. Aku melihatnya berdiri di depan pintu masuk. Aah.. kami mengenakan baju dengan warna senada karena dia juga memakai tuxedo hitam. Senyuman lembut disunggingkannya untukku.
“Sudah lama menunggu?” tanyaku sekedar berbasa-basi dan dia segera menggeleng.
“Acaranya belum dimulai kan?” tanyaku lagi.
“Belum,” jawabnya. Tatapannya mengarah lurus padaku, membuat pipiku terasa panas karena tatapan yang tidak biasa itu. Ayolah.. bukankah ia sudah sering melihatku mengenakan gaun seperti ini.
“Yeoppo…” gumamnya pelan namun masih bisa ku dengar.
“Tapi akan lebih cantik lagi kalau kau menggerai rambutmu.” Dengan cepat ia menarik penjepit rambutku dan membuat rambutku tergerai sempurna. Tangannya dengan cekatan merapikan rambutku.
“Kau semakin cantik jika seperti ini. Jangan perlihatkan lehermu pada siapapun Ny. Kim,” ucapnya seraya tersenyum. Apa maksud kata-katanya itu? Jujur aku lebih suka rambut yang terikat daripada tergerai. Ingin aku melayangkan protes tapi tidak jadi saat aku mendengar ucapan beberapa orang yang tak lain guru di sekolah ini juga. Mereka sedang memuji kami sebagai pasangan yang sangat romantis. Ya Tuhan… bahkan aku lupa kalau kami masih di depan pintu masuk. Mukaku memerah karena malu sedangkan ia hanya menanggapi dengan senyuman simpul.

***

            Kuakui ia memang tampan dan ketampanannya bertambah menjadi berali-kali lipat saat ia sedang bernyanyi seperti sekarang. Lihat, bahkan ia berhasil menarik perhatian kaum hawa yang berada di ruangan ini. Beberapa yeoja di sekitarku berbisik-bisik mengungkapkan kekaguman terhadap sosok Kim Jongwoon. Mungkin mereka tidak berani memperlihatkannya secara langsung karena segan padaku yang merupakan  istrinya.
            Kutatap wajahnya yang memang sangat berkharisma sangat bernyanyi. Mata sipitnya itu memancarkan sebuah ketulusan. Aku memekik dalam hati. Apa yang kurang pada dirinya? Kenapa sampai saat ini hatiku masih belum bisa menerimanya sepenuhnya? Apa yang salah pada diriku padahal jelas-jelas aku merasa nyaman saat bersamanya?
            Kami menikah sekitar 6 bulan yang lalu. Ditengah musim semi yang indah dimana bunga-bunga bermekaran menghiasi setiap sudut tempat. Hari dimana sinar matahari terasa sangat hangat dan membuat siapa saja bersemangat. Hari yang kunantikan, hari dimana aku akan mengganti margaku menjadi Park. Tapi hari itu hancur seketika. Pernikahan yang kuimpikan seolah menjadi mimpi terburuk bagiku. Calon mempelaiku, Park Jungsoo tidak datang di hari pernikahan. Namja itu meninggalkan sebuah surat yang menyatakan kalau dirinya pergi keluar negeri dan akan menikah dengan seseorang yang dicintainya. Alasan macam apa itu? Yeoja yang dicintainya? Lalu apa artinya diriku yang sudah 2 tahun bersamanya?
            Hari itu aku merasa sangat hancur. Kenapa dia tega melakukannya padaku bahkan tepat dihari pernikahan kami dan aku sudah berbalut gaun pengantin? Aku merasa sangat putus asa. Aku sangat membenci dirinya namun saat aku mensugesti diriku untuk membencinya senyum malaikatnya lah yang terlintas di kepalaku. Pada kenyataannya aku sangat mencintainya.
            Ditengah kekacauan yang ditimbulkannya dan membuat seluruh keluargaku kalang kabut aku hanya berjongkok diruang tunggu seraya menahan air mataku yang ingin tumpah ruah. Ingin menangis tapi dadaku terasa sangat sesak dan membuatku tidak sanggup menangis. Aku snagat terluka. Kenapa nasibku sangat menyedihkan? Kepalaku terus memikirkan kemungkinan kenapa dia meninggalkanku. Apa kekuranganku? Hubungan kami selama ini baik-baik saja, hampir tidak ada pertengkaran yang berarti. Aku sudah sangat yakin bahwa dia adalah takdirku tapi semua yang terjadi meruntuhkan keyakinanku.
            Hal yang lebih konyol terjadi saat eomma memberitahukanku bahwa aku tetap akan menikah. Ternyata mereka meminta anak salah seorang sahabatnya untuk menikahiku dan ini semua hanya untuk menjaga nama baik keluarga. Hah, aku tidak percaya kebahagiaanku dipertaruhkan disini. Apakah mereka tak memikirkan perasaanku?
            Aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti keinginan mereka. Tapi jujur hatiku sudah hancur. Aku tidak percaya lagi apa sesuatu yang berbau cinta. Ternyata memang benar, cinta itu amat menyakitkan dan bisa membunuh apapun termasuk membunuh perasaanku.
            Hari itu margaku berubah menjadi Kim. Aku menikah dengan Kim Jongwoon. Dia memang anak sahabat kedua orang tuaku. Aku tidak terlalu mengenalnya dan tidak pernah bertutur sapa dengannya sebelumnya walaupun sebenarnya kami bersekolah di tempat yang sama saat Senior High School. Yang kutahu namja bermata sipit itu bekerja disalah satu sekolah music yang terkenal didaerah ini. Aku tidak mengerti, apa yang membuatnya rela menikahiku? Apa hanya untuk menuruti kata-kata orang tuanya? Atau sekedar kasihan padaku? Menggelikan!
“Kau melamun?”
Aku tersentak kaget saat seseorang menyentuh bahuku. Ternyata sedari tadi aku melamun, aku memikirkan kembali hari itu. Aku tersenyum kecut kearahnya sedangkan ia juga tersenyum seraya menyerahkan minuman untukku.
“Gumawo,” ucapku.
“Sonsengnim… apa ini istrimu?” tiba-tiba beberapa gadis yang merupakan siswi disini menghampiri kami. Jongwoon mengangguk.
“Eonni, kau cantik sekali. Walaupun kami patah hati tapi kami rela jika sonsengnim kami bersamamu,” ucap mereka bersemangat. Aku tersenyum mendengar ucapan mereka. Dasar bocah!
“Eonni, kau harus bersyukur karena mendapat suami sebaik sonsengnim. Banyak sekali yeoja yang mengejar-ngejarnya. Coba eonni lihat sonsengnim yang memakai dress merah itu. Dia selalu menggoda Jongwoon sonsengnim tapi sonsengnim selalu menolaknya.” Aku melirik yeoja yang juga sepertinya sedang memperhatikan kami. Yeoja itu cantik dan kurasa dia juga high class tapi kenapa Jongwoon tidak tertarik padanya?
“Aish kalian ini! Jangan bicara macam-macam!” sela Jongwoon.
“Kami pergi dulu.” Terdengar erangan protes dari bocah-bocah itu saat Jongwoon menarik tanganku. Yang bisa kulakukan hanya mengikuti langkahnya menuju sudut ruangan yang tidak terlalu ramai.
“Sepertinya penggemarmu banyak sekali,” ucapku. Dia tersenyum kecil.
“Kurasa begitu,” tanggapnya singkat. Sama seperti sebelum-sebelumnya, hubungan kami berdua sangat kaku. Tidak terlihat seperti sahabat terlebih lagi seperti suami istri. Aku tahu dia selalu ingin membuat percakapan denganku tapi dia selalu mengurungkan niatnya karena melihatku yang acuh tak acuh. Aku tidak tahu kenapa aku? Sebelumnya aku bukanlah gadis yang seperti ini. Terkadang aku membenci diriku. Kenapa sifatku seperti seseorang yang berhati es? Kenapa aku menyiksanya dalam pernikahan yang seperti ini? Aku menghela nafas panjang dan kembali tenggelam dalam pikiranku sendiri.

***

            Kujatuhkan diriku pada sebuah bangku taman. Sebentar lagi jam makan siang akan habis dan aku harus kembali ke kantor. Hari ini sengaja aku menikmati sedikit udara luar untuk menyegarkan pikiranku.
Greep!
Aku tersentak begitu menyadari seseorang memeluk leherku dari belakang. Tubuhku menegang saat indera penciumanku menangkap aroma white musk.
“Aku sangat merindukanmu…” bisiknya lirih ditelingaku. Dengan cepat aku berbalik dan berdiri dari dudukku. Jantungku berdegup kencang, keringat dingin mengucur dari pelipisku. Apa ini hanya halusinasiku?
“Jeri-ya, jeongmal mianhae…” ucapnya lagi. Aku hendak berlari dari sana tapi dia menahanku.
“Khajima!” pintanya.
“Ke..kenapa kau disini?” tanyaku dengan suara bergetar. Kurasakan pegangannya mengerat dipergelangan tanganku.
“Lepaskan aku!” rontaku tapi dia masih menatapku dengan mata sayunya.
“Aku tahu aku salah tapi kumohon dengar dulu penjelasanku…”
“Penjelasan apa lagi? Puas kau menghancurkanku? Untuk apa lagi kau menemuiku?” seruku marah. Air mataku mengalir pelan. Kenapa dia harus muncul lagi dalam hidupku dan berdalih ingin minta maaf.
“Kumohon dengarkan aku dulu…”
Dia menarikku dalam pelukannya. Tak peduli aku yang meronta-ronta hingga akhirnya aku lelah. Tak bisa ku pungkiri aku merindukannya. Aku merindukan pelukannya. Jungsoo oppa, kenapa kau menyiksaku seperti ini?

***

            “Setelah kau menceritakan semua padaku lalu apalagi yang kau harapkan?”
Semilir angin sore berhembus perlahan. Aku membiarkan rambutku dipermainkan oleh angin. Mataku menatap lurus pada aliran sungai Han yang tenang.
“Kuharap kau memaafkanku,” ucapnya pelan.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu.”
Dia memang sudah menikah dengan gadis yang berstatus sebagai sahabatnya. Aku pernah mendengarnya beberapa kali bercerita tentang gadis yang bernama Soora. Menurut ceritanya sudah sejak dulu Soora menyatakan cinta padanya tapi ia selalu menolak karena ia mencintaiku.    Tapi pada saat hari pernikahan kami, Jungsoo oppa mendapat telepon dari Paris dan mengatakan kalau Soora dalam keadaan sakit parah. Mengejutkan memang mengetahui bahwa gadis itu mengidap penyakit kanker otak stadium akhir. Orang tua Soora memohon agar Jungsoo oppa mau menerima putri mereka karena mereka ingin melihat putri mereka bahagia diakhir-akhir hidupnya. Tidak ada pilihan lain baginya. Ini semua demi mengingat persahabatan mereka yang sudah terjalin sejak lama dan mempertimbangkan perasaan orang tua Soora. Dua bulan yang lalu Soora meninggal dunia. Sakit itu sudah terlalu lama menggerogotinya. Sekarang Jungsoo oppa kembali lagi dan meminta maaf padaku. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan sekarang?
“Jeri-ya, jebal…” pintanya. Dia menggenggam tanganku erat.
“Luka yang kau tinggalkan terlalu besar oppa,” ujarku. Aku memang masih mencintainya tapi rasa sakit itu masih ada sampai sekarang.
“Aku akan menyembuhkan luka itu. Andai keadaannya tidak seperti itu aku pasti tidak akan pernah meninggalkanmu. Kau tahu seberapa besar aku mencintaimu…”
“Semua yang kita lakukan itu ada konsekuensinya oppa. Inilah konsekuensi terhadap apa yang sudah kau lakukan padaku. Aku bisa mengerti semua alasanmu. Aku akan berusaha memaafkanmu dengan perlahan tapi kumohon mengertilah aku.” Suaraku mulai bergetar lagi. Aku menahan air mata yang hendak mengucur keluar.
“Akan kulakukan apapun supaya kau bisa menerimaku lagi.”
“Keadaannya sudah berbeda. Aku sudah menikah.”
“Aku tahu itu tapi aku yakin kau masih mencintaiku,” kekehnya. Aku terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Apa memang cintaku padanya bisa terlihat dengan jelas?
“Jeri-ya, bisakah kita memulai semuanya dari awal?”
Dia menarik tanganku supaya mendekat dengannya. Dirinya masih sama, matanya terlihat tulus. Belum sempat kusadari semuanya dia sudah menautkan bibirnya pada bibirku. Aku tersentak, ingin melawan tapi tidak bisa. Tubuhku terlalu lemah terhadap sentuhannya. Ya Tuhan…apa aku wanita yang bodoh?

***

            Jam menunjukkan hampir tengah malam saat aku merebahkan diri ke tempat tidur. Ada yang aneh malam ini. Jongwoon belum pulang. Tak biasanya dia seperti ini. Selama 6 bulan aku tinggal bersamanya hampir setiap hari dia selalu pulang lebih awal dariku. Memang kegiatan mengajarnya tidak sepadat diriku yang merupakan Presiden Direktur di perusahaan. Mungkin hari ini dia mempunyai urusan yang membuatnya harus pulang larut malam. Tapi tak biasanya juga dia tak menghubungiku. Apa aku harus menelponnya? Aku menatap ponselku dan beberapa saat kemudian mengurungkan niatku. Lebih baik aku istirahat, aku yakin sebentar lagi dia akan pulang.

***

3 hari. Tepat 3 hari aku tidak bertutur sapa dengannya, lebih tepatnya dialah yang tidak menegurku seperti biasa. Awalnya ku pikir dia mempunyai banyak pekerjaan sehingga tidak sempat untuk menyempatkan waktunya hanya untuk sekedar menyapaku tapi setelah 3 hari ini aku merasa sangat aneh. Bukan hanya karena aku tidak mendengar sapaannya tapi karena tatapannya berbeda. Aku merasa ia seperti membenciku bahkan menghindariku.

***

            Satu minggu dan namja itu membuatku tidak habis pikir. Dia benar-benar mendiamkanku bahkan tidak berminat untuk membalas basa-basiku padahal aku berusaha keras hanya untuk mengucapkannya. Aku masih ingat tatapannya tadi pagi, terlalu datar dan detik berikutnya ia keluar dari apartemen meninggalkanku yang tergagu menatapnya. Kenapa dia? Ingin membalas dendam karena selama ini aku tak terlalu peduli padanya?
            Aku mendorong berkas-berkas kerja jauh dari hadapanku. Kertas-kertas itu membuatku muak. Kubenamkan wajahku diatas meja dan menarik nafas dalam-dalam sekaligus berusaha menenangkan pikiranku. Arrgh… kenapa lagi-lagi dengan lancangnya seorang Kim Jongwoon berani masuk ke pikiranku? Aku benar-benar tidak merasa tenang karena sikap anehnya selama seminggu belakangan ini.
Drrrt… drrt…
Aku mengangkat kepalaku sekedar untuk membaca pesan yang masuk ke ponsel.
From    : Jungsoo oppa
Jeri-ya, besok pagi aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Kau harus siap-siap ne? aku akan menjemputmu.
            Aku menghela nafas panjang, tak berminat untuk membalas pesan itu sekarang. Mianhae…

***

            Aku berjalan dengan gontai memasuki apartemen. Aku sangat lelah dan ingin cepat beristirahat. Bukankah besok Jungsoo oppa juga akan mengajakku ke suatu tempat?
            Aku tertegun mendapati Jongwoon yang sedang duduk di kursi tamu dan menatapku dengan serius. Tatapannya tajam dan membuatku bergidik. Ternyata dia bisa mengeluarkan aura menakutkan seperti ini.
“Aku ingin bicara denganmu,” ucapnya begitu aku hendak membuka suara, menanyakan kenapa dia menatapku seperti itu.
“Ne,” jawabku singkat seraya duduk di sofa yang bersebelahan dengannya.
“Kurasa beberapa hari ini aku sudah memikirkan keputusan yang akan kuambil,” ujarnya. Ia menghela nafas berat. Terlihat sekali bahwa ia seperti sedang menahan emosinya.
“Keputusan? Keputusan apa?” tanyaku tidak mengerti. Dia menyodorkan amplop berwarna coklat ke hadapanku. Aku menatapnya bingung tapi sepertinya ia menyuruhku untuk segera membuka amplop itu. Kenapa tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak?
            Mataku sontak membelalak mendapati kertas yang bertuliskan surat perceraian didalam amplop itu.
“Ige…”
“Aku sudah menandatanganinya. Kau juga cukup menandatanganinya saja,” ucapnya dengan nada tenang. Kontras sekali dengan jantungku yang sudah berdegup kencang, darahku di pompa cepat bahkan mengalir deras keotakku, lidahku kelu.
“Kenapa tiba-tiba kau?” kosakata yang tersimpan diotakku mendadak hilang. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Mataku menatapnya nanar.
“Kau senang?” tanyanya seraya tersenyum sinis. Aku tidak mengerti dengan arah pembicaraannya.
“Sebentar lagi kau akan terbebas dari pernikahan ini,” lanjutnya.
“Semua akan kuurus dengan baik, tenang saja. aku akan membicarakannya dengan orang tua kita. Selamat! Kau bisa melanjutkan hidupmu dengan bahagia bersama Jungsoo.”
Aku terkejut. Kenapa ia mengaitkan masalah ini dengan Jungsoo oppa?
“Apa maksudmu? Jangan berbelit-belit!” pekikku tidak sabar.
“Aku hanya memberi kemudahan untukmu. Kau bisa meraih kebahagiaanmu bersamanya sekarang.”
Dia bangkit dan hendak berlalu tapi dengan cepat aku menarik tangannya.
“Sebenarnya apa yang kau bicarakan? Aku tidak mengerti…” tuntutku. Biarlah aku terlihat bodoh dalam situasi kali ini tapi jujur, aku benar-benar tidak mengerti. kurasakan air mataku mengalir pelan di pipi, pandanganku buram.
“Aku lelah Jeri-ya… aku lelah kau anggap tak ada,” ucapnya pelan.
Deg!
“Bukankah selama ini kau tertekan? Aku tahu kau tidak bahagia dalam pernikahan ini. Aku tahu kau tersiksa. Bahkan usahaku selama ini untuk mendapatkanmu nyatanya tak bisa membuatmu untuk menatapku sejenak saja. hatimu masih terisi olehnya bukan?” ucapnya panjang lebar. Nafasku terasa sesak, tanpa sadar aku mengeratkan peganganku di pergelangan tangannya.
“Aku memang bodoh. Aku tidak berusaha semampuku agar kau bisa menerimaku tapi aku tidak bisa bertahan lagi. Saat bersamaku tak pernah sekalipun kau memberi senyummu, tak pernah sekalipun kau tertawa bahagia.”
“Jongwoon-ah…” gumamku pelan seakan memohon. Hatiku terasa sakit melihat tatapannya yang terlihat menyedihkan dimataku.
“Aku sama sekali tidak menyesal telah menikah denganmu. Asal kau tahu, aku sudah menyukaimu sejak kita sekolah dulu tapi aku tidak punya keberanian untuk sekedar menyapamu. Saat pernikahanmu aku tidak ingin datang tapi dengan bodohnya aku tetap datang karena aku ingin melihatmu terakhir kalinya sebelum kau menjadi milik orang lain. Aku sangat egois karena terlihat senang saat mendengar pernikahanmu batal dan aku merasa dunia seakan menjadi milikku saat orang tuamu memintaku untuk menikah denganmu. Entah ini disebut takdir atau bukan tapi aku merasa sangat bahagia saat itu. Aku sangat yakin bahwa aku bisa membuatmu mencintaiku tapi ternyata semuanya tidak mudah. Kau sangat menutup diri, kau seolah tidak menyukai kehadiranku disekitarmu.”
“Aku sangat bodoh bukan? Akhir-akhir ini kurasa sikapmu sedikit melunak padaku, aku hampir yakin kalau sebentar lagi aku akan berhasil tapi ternyata dia kembali lagi padamu dan berjanji akan membuatmu bahagia. Bukankah begitu?”
Dia terkekeh pelan namun terlihat menyedihkan. Jujur aku sangat terkejut mendengar pengakuannya. Jadi selama ini dia menyukaiku, mencintaiku lebih tepatnya dan sekarang dia tahu kalau Jungsoo oppa kembali pdaku?
“Kenapa kau tidak pernah mengakui kalau kau mencintaiku?” tuntutku.
“Karena hatimu masih terisi penuh oleh dirinya!” serunya yang membuatku terkejut. Aku menunduk pelan. Ya Tuhan…sudah berapa lama aku menyiksanya? Aku memang masih sangat mengharapkan Jungsoo oppa kembali padaku tapi aku juga tidak sanggup melihatnya tersiksa seperti ini. Air mataku masih mengalir deras sedangkan dia hanya terdiam dengan deru nafas yang memburu.
“Kenapa kau menyerah sekarang?” tanyaku pelan. Suaraku sangat serak dan dadaku terasa sangat sesak.
“Aku tidak akan pernah menyerah jika saja aku tidak melihat kau menerimanya kembali. Kalian berciuman di depan mataku…”
Deg!
Peganganku terlepas. Aku mengangkat wajahku dan menatapnya tak percaya.
“Jika kau adalah aku apa yang akan kau lakukan Jeri-ya? Sanggupkah kau bertahan? Selama ini aku tidak menyentuhmu karena aku menunggu saat-saat dimana kau akan menatapku dengan perasaan cinta. Kau milikku tapi aku tetap menahan diriku sendiri. Sekarang katakan padaku, apa yang seharusnya kulakukan saat aku melihat milikku disentuh oleh orang lain?”
Dia menatapku penuh emosi. Matanya berkaca-kaca. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku sadar yang kau rasakan selama ini sangat menyakitkan Jongwoon-ah.
“Aku hanya ingin kau bahagia. Sebelum kita berdua tersiksa lebih jauh lebih baik aku melepasmu.”
Dia menarikku mendekat padanya dan detik berikutnya dia memelukku. Pelukannya masih hangat dan menenangkan seperti biasa.
“Saranghae…” bisiknya sembari mengecup pipiku lama. Pelukannya makin erat. Aku membenamkan diri sepenuhnya dalam pelukannya. Dia melepas pelukannya lalu berjalan meninggalkanku. Aku tidak sempat menahannya. Terdengar pintu apartemen yang tertutup. Yang kutahu tubuhku merosot perlahan kelantai. Tangisku pecah seketika. Mianhae Jongwoon-ah…

***

            “Jeri-ya, kwenchanna?” Tanya Jungsoo oppa khawatir saat ia menjemputku di apartemen. Aku tersenyum tipis. Aku sedang tidak baik-baik saja.
“Kita akan kemana?” tanyaku.
“Kau terlihat pucat. Kita tidak jadi pergi,” ucapnya. Aku menatapnya bingung. Dia menarik tanganku dan mendudukkanku di sofa.
“Apa kau sedang memikirkan keputusan Jongwoon? Semua akan baik-baik saja Jeri-ya. Saat urusan kalian sudah selesai aku akan segera menemui orang tuamu,” ujarnya seraya tersenyum lebar.
“Maksud oppa?” tanyaku tidak mengerti.
“Jongwoon menemuiku. Dia mengatakan kalau dia sudah melepasmu dan dia memintaku untuk membahagiakanmu. Tanpa dia meminta pun aku akan membahagiakanmu.”
Aku terkejut mendengar penjelasannya. Jongwoon menemuinya? Apa yang dilakukan namja bodoh itu?
“Tapi…”
Aku kembali tersentak saat Jungsoo oppa memelukku. Aku merasa dia sedang tersenyum lebar karena bahagia. Anehnya aku sama sekali tidak merasa bahagia. Hatiku terasa sangat sakit.
“Kita akan memulai lagi semuanya dari awal. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini Jeri-ya…”
Aku menarik nafas panjang. Yang kutahu hatiku terasa sangat hampa.

***

            Aku mendudukkan diriku diatas sebuah kursi taman. Tubuhku masih bergetar pelan. Aku tidak percaya saat pengacara Jongwoon menemuiku untuk membicarakan masalah perceraian. Dia benar-benar mengatur semuanya dengan baik bahkan orang tuaku tidak bisa mengatakan apa-apa. Entah alasan apa yang dikatakannya sehingga orang tuaku bisa menerima semuanya. Sejak malam itu pula dia tidak pernah pulang ke apartemen. Jujur, aku merasa kehilangan sosoknya…
            Kurasakan ponselku bergetar dan aku menghela nafas saat melihat nama penelepon.
“Yeoboseyo oppa…” ucapku berusaha agar suaraku terdengar biasa-biasa saja.
“Mianhae aku tidak bisa menemanimu makan siang. Tiba-tiba aku harus menghadiri meeting penting. Tidak apa-apa kan?”
“Kwenchanna…”
“Ingat jangan lupa makan ne? aku akan menemuimu nanti malam. Saranghae…”
Pip!
            Aku menghela nafas lega. Setidaknya dia tidak melihatku dalam keadaan kacau seperti ini. Seharusnya aku merasa bahagia karena Jungsoo oppa memperlakukanku sama seperti dulu. Ia terlihat begitu tulus mencintaiku tapi entah kenapa aku seperti tidak merasakan cinta darinya. Tidak ada lagi rasa berdebar saat aku bersamanya. Aku seperti mati rasa. Aku menangkup wajahku pada kedua telapak tanganku. Lagi dan lagi! hanya bayangan Jongwoon yang melekat di pikiranku.

***

            Sudah hampir setengah jam aku berada di taman ini untuk menenangkan pikiranku. Aku beranjak dan mulai melangkah lagi. Aku tidak berniat pulang ke apartemen ataupun kembali ke kantor. Hanya mengikuti kemana langkah akan membawaku.
            Hari menjelang sore dan aku berada di sebuah pasar tradisional. Aku terkekeh pelan. Semua masalah ini membuatku kacau sehingga tanpa sadar aku sudah berada disini. Perutku terasa kosong. Aku memang belum makan siang. Aroma kue beras menusuk indera penciumanku dan aku menemukan seorang nenek yang berjualan kue beras di emperan toko. Aku menghampirinya.
“Annyeonghaseyo halmeoni…” sapaku.
“Kau ingin membeli kue beras nona?” tanyanya sambil tersenyum. Aku bisa menebak kalau nenek ini dulunya sangat cantik karena diusianya yang sudah renta aku bisa menangkap gurat-gurat kecantikan di wajahnya. Tapi satu yang aku bingungkan, nenek itu tidak melihat kearahku. Apa ia…
“Ingin membeli kue beras?” Tanya seorang kakek yang baru saja datang tergopoh-gopoh.
“Ne…” aku mengangguk dan kakek itu segera mengambil alih pekerjaan nenek. Ia membungkuskan beberapa kue beras untukku.
“Sebentar lagi kita harus pulang. Aku sudah membeli makanan enak untuk makan malam,” ucap kakek itu. Apa dia suaminya nenek?
“Ne…” nenek itu mengangguk senang.
“Eum…chogiyo.. apa halmoeni tidak bisa melihat?” tanyaku penasaran sekaligus merasa tidak enak.
“Benar nona… aku tidak bisa melihat sejak aku masih kecil,” jawab nenek itu, masih dengan senyumnya.
“Mianhae..” pintaku.
“Kwenchanna…” jawab nenek itu cepat. Kakek menyerahkan kue beras itu dan aku membayarnya tapi rasanya aku masih belum mau beranjak dari tempat ini. Aku duduk di emperan toko tersebut dan melahap kue berasnya. Sangat enak…
            Kulirik kakek yang membereskan dagangannya sedangkan nenek hanya duduk seolah-oleh sedang memperhatikan suaminya. Senyum tak pernah lekang dari wajah mereka.
“Kakek dan nenek terlihat sangat mencintai satu sama lain,” ucapku spontan dan membuat keduanya tertawa kecil.
“Benarkah?” Tanya kakek. Aku mengangguk bersemangat.
“Usahaku tidak sia-sia…” ucap kakek.
“Maksudnya?” tanyaku tidak mengerti.
“Dulu dia tidak mencintaiku bahkan membenciku tapi aku selalu berusaha untuk mendapatkannya,” jelas kakek setengah berbisik.
“Jangan ungkit lagi hal itu!” sergah nenek yang nyatanya bisa mendengar ucapan kakek.
“Dulu nenek tidak mencintai kakek?” tanyaku meminta kejelasan.
“Sebenarnya aku tidak membencinya tapi hanya tidak percaya padanya. Aku tidak mengenalnya tapi dia tiba-tiba datang dan melamarku. Wajar aku tidak percaya. Ku kira dua hanya membual, aku buta, mana ada namja yang menyukaiku,” jelas nenek. Aku mengangguk pelan.
“Kau keras kepala yeobo. Aku berulang kali mengatakan alasan kenapa aku menyukaimu tapi kau tidak pernah mengacuhkanku.”
“Kau tahu nona? 3 bulan setelah menikah dan dia sama sekali tidak pernah berbicara padaku.”
“Apa yang membuat kakek menyukai nenek?” tanyaku penasaran. Kulirik wajah nenek yang bersemu merah. Aku merasa kalau mereka adalah pasangan yang berbahagia.
“Aku suka melihat caranya tersenyum. Dulu aku selalu memperhatikannya tanpa berani menyapanya. Dia menjual kue beras dan tersenyum pada siapapun yang membeli kuenya walaupun dia tidak bisa melihat siapa mereka tapi senyumnya sangat tulus. Tiba-tiba aku merasa ingin melihat senyumnya untukku setiap saat dan aku memutuskan untuk menjadikannya milikku.” Kakek seperti menerawang masa-masa indahnya dulu.
“Aku sangat mencintainya. Tidak ada seorangpun yang bisa menggantikannya,” ujar kakek.
“Nenenk sangat beruntung,” ucapku dan nenek mengangguk pelan. Tentu saja ia merasa sangat bahagia bisa memiliki suami seperti kakek.
“Kau juga sudah menikahkan?”
Aku tersentak saat kakek balik bertanya padaku.
“Bagaimana kakek tahu?” kakek mengisyaratkan cincin yang melingkar dijariku dengan matanya. aku terkekeh pelan menyadari kebodohanku.
“Kau bahagia?”
Tubuhku menegang, lidahku kelu, tidak tahu harus menjawab apa.
“Seseorang yang menginginkan kau bahagia tanpa syarat apapun adalah yang mencintaimu dengan tulus,” nasehat kakek.
“ Sama seperti aku yang hanya ingin melihatnya tersenyum dan berjanji akan terus membuatnya tersenyum bahagia. Hal itu lebih berarti bagiku…” ujar kakek lagi.
“Jangan pernah menyia-nyiakan seseorang yang mencintaimu karena kau tidak akan mendapat lagi seseorang yang sepertinya.” Aku terdiam merenungi kata-kata kakek. Kenapa kakek mengatakan itu padaku?
“Kami pulang dulu nona…” ucapnya. Aku mengangguk dan tersenyum kaku. Mereka melangkah pelan menyusuri jalanan yang masih lumayan ramai. Beberapa pedagang kecil di emperan masih sibuk dengan dagangan mereka. Aku memperhatikan 2 renta yang saling mencintai itu. Kakek membawa barang dagangannya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya digunakan untuk mengenggam tangan nenek seolah membimbingnya padahal nenek memegang tongkat.
            Tiba-tiba air mataku mengalir pelan, pelupuk mataku menghangat. Siapa yang akan menghabiskan masa tuanya bersamaku? Siapa yang akan mencintaiku seperti kakek mencintai nenek? Siapa yang akan menerima segala kekuranganku? Siapa yang terus mengaharapkan senyumanku dan mencintaiku meski keriput sudah menghiasi wajahku?
Seseorang yang mencintaiku dnegan tulus? Seseorang yang ingin aku bahagia tanpa syarat? Seseorang yang tidak akan pernah bisa menggantikanku dengan siapapun? Tanganku bergetar, masih dengan isak kecil aku menyuapkan potongan kue beras terkhir ke dalam mulutku. Siapa…?

***

            Aku memperhatikan laju mobil Jungsoo oppa yang menjauh setelah itu kulangkahkan kakiku memasuki gedung apartemen. Kepalaku terasa sangat berat dan membuatku ingin cepat beristirahat.
Ckleek!
Aku mengernyit bingung saat melihat lampu apartemen yang menyala padahal aku selalu mematikannya jika hendak berangkat ke kantor. Dulunya memang saat aku pulang keapartemen lampunya sudah menyala karena Jongwoon selalu pulang lebih awal. Tapi sekarang?
            Aku hampir memekik kaget saat melihat seseorang didalam kamarku.
“Jongwoon…” gumamku pelan namun masih terdengar olehnya. Dia menghentikan kegiatannya mengepak baju dan menatapku sejenak.
“Baru pulang?” tanyanya sembari merapikan baju-baju dalam koper sebelum akhirnya menutup koper rapat-rapat. Aku terus memperhatikannya. Ada kelegaan luar biasa dalam hatiku saat mendapatinya disini. Dadaku yang selama ini terasa sesak seolah terisi lagi oleh oksigen.
“Sudah makan malam?” kali ini dia kembali menatapku.
“Kau mau kemana?” tanyaku dengan suara yang nyaris tidak bisa keluar.
“Setelah perceraian kita selesai aku akan pindah keluar kota. Kudengar dari pengacaraku kau belum menandatangani surat percaraian. Kenapa?”
“Kau akan pindah kemana?”
Tidak ada jawaban pasti dari kami berdua. Hanya melempar pertanyaan satu sama lain.
“Aku belum tahu pasti,” ucapnya menyerah dan tidak memaksakan jawaban kenapa aku bekum menandatanganinya. Aku tidak bisa, aku tidak tahu kenapa…
“Kau bisa menjual apartemen ini jika kau mau. Kemarin kudengar Jungsoo akan mengajakmu untuk melihat rumah yang akan kalian tempati setelah menikah.”
Aku tersentak. Rumah? Apa Jungsoo oppa akan mengajakku kesana kemarin? Aku masih berdiri kaku diambang pintu kamar sedangkan ia menggeret kopernya dan berniat keluar. Apa dia benar-benar ingin pergi?
“Jongwoon-ah…” panggiilku. Dia menatapku lembut seperti biasa.
“Boleh aku memelukmu?” tanyaku.
            Dia melepas kopernya lalu mengulas senyum, menarikku kedalam pelukannya.
“Hiks…” aku terisak pelan sedangkan ia mulai membelai rambutku. Entah kenapa aku tidak ingin dia pergi. Aku sangat merindukan pelukannya yang seperti ini, menenangkan…
“Tubuhmu hangat. Apa kau sakit?” aku menggeleng pelan dan makin terisak. Jongwoon-ah, aku tidak ingin kau pergi tapi mulutku terasa kelu, aku tidak bisa mengatakannya.
“Istirahatlah…” dia membimbingku menuju kasur dan membaringkanku disana. Dia pun ikut berbaring dan kembali memelukku.
“Untuk terakhir kalinya aku memelukmu seperti ini. Sebaiknya kau berharap supaya aku bisa tidur dengan nyenyak tanpa memelukmu saat insomnia.” Ia terkekeh pelan tanpa menyadari hatiku terluka saat ia mengatakannya. Terakhir kali…?
Untuk  pertama kalinya aku berharap supaya kau yang selalu memelukku saat aku tertidur Jongwoon-ah…

***

            Sinar matahari yang menyorot tepat kemataku membuat tidurku terganggu. Aku membuka mata dan mengerjap pelan. Kepalaku terasa sangat berdenyut. Sakit sekali…
Aku meraba dahiku sendiri. Demam…
Semalam aku tertidur dalam pelukan Jongwoon. Itu bukan mimpi kan? Itu benar-benar Jongwoon? Sekarang kemana dia?
            Kupaksakan tubuhku untuk bangkit lalu berjalan tertatih menuju lemari. Kosong! Tidak ada lagi pakaiaannya disini, hanya ada pakaianku saja. aku mencengkram pintu lemari kuat-kuat. Benarkah dia ingin pergi? Benarkah? Kepalaku makin berdenyut dan detik berikutnya aku merasa dunia seperti berputar. Semuanya gelap…

***

            “Jeri-ya…” aku membuka mata perlahan dan mendapati eomma yang menatapku cemas. Kuperhatikan sekeliling dan aku bisa menebak kalau ini adalah rumah sakit. Pergelangan tanganku terasa terganggu karena infus yang terpasang disana.
“Kenapa aku bisa disini?” tanyaku dengan suara lemah.
“Jungsoo menemukanmu pingsan dikamar. Kenapa kau bisa sakit seperti ini. Dokter bilang kau juga terserang maag. Apa kau tidak makan dengan baik?”
Kualihkan pandanganku kearah lain, mengabaikan pertanyaan eomma dan mendapati Jungsoo oppa yang berdiri tak jauh dari pintu. Appa juga ada disini, duduk disalah satu sofa dan menatapku datar. Semenjak Jongwoon memutuskan untuk bercrai dan Jungsoo oppa yang kembali hadir ditengah keluargaku appa memang bersikap dingin terhadapnya. Wajar jika appa menjadi kurang menyukainya setelah apa yang ia lakukan padaku tapi appa juga tidak bisa menentangnya. Sedangkan eomma menyerahkan segala keputusan di tanganku, tak berniat mencampuri karena aku sudah dewasa. Satu hal yang membuatku merasakan sakit. Aku tidak menemukan Jongwoon disini.

***

            “Kau sudah bangun?” sapa seseorang padaku. Mataku membulat begitu melihat Jongwoon duduk di sofa didalam kamar rawatku. Jam menunjukkan pukul 8 pm. Rupanya aku tertidur selama 3 jam.
“Jongwoon-ah..” gumamku pelan. Dia beranjak dari duduknya lalu duduk di pinggir tempat tidurku.
“Bodoh! Kau membuatku khawatir. Selama ini kau tidak pernah sakit lalu tiba-tiba kau malah ditemukan pingsan,” gerutunya dengan nada kesal.
“Ini karenamu!” seruku.
“Aku?” tanyanya tidak mengerti. aku berusaha duduk walaupun kepalaku masih terasa berat.
“Kenapa kau pergi tiba-tiba? Kenapa kau memutuskan untuk bercerai? Kenapa kau berniat meninggalkanku? Kenapa kau menyerah?” seruku seraya memukul dadanya. Hanya pukulan lemah untuk menunjukkan kekesalanku. Aku memang bodoh, aku menangis lagi.
“Aku melakukan itu semua karena aku ingin kau bahagia…” dia tak mencoba menghentikanku.
“Bahagia? Nyatanya aku tidak bahagia Jongwoon-ah…” ujarku lemah. Tanganku terkulai dan aku mulai menangis tersedu.
“Kau tidak boleh menyerah sebelum membuatku benar-benar mencintaimu…”
“Mwo?”
Aku beringsut perlahan dan memeluknya sedangkan ia masih terduduk kaku.
“Kurasa aku mulai mencintaimu Jongwoon-ah…” ucapku pelan.
“Ne?” pekiknya. Ia segera menangkup wajahku dan menatap mataku dalam. Terlihat sekali keterkejutan diwajahnya.
“Saranghae…” ucapku pelan. Matanya membulat tapi hanya beberapa saat karena detik berikutnya ia mengulas senyum lega.
“Jinja?” tanyanya. Aku mengangguk dan tersenyum kecil.
“Apa kau masih mau menyerah?” tanyaku.
“Ani…” dia menggeleng cepat.
“Aku akan membuatmu jatuh cinta berkali-kali pada Kim Jongwoon sama seperti kau yang telah membuatku jatuh cinta berkali-kali.” Senyumku bertambah lebar, hatiku terasa sangat lega. Akhirnya aku tahu siapa yang akan mendampingiku sampai akhir? Siapa yang mencintaiku dengan tulus dan siapa yang tidak akan pernah menggantikanku dengan siapapun. Aku sudah tahu jawabannya.
            Dia menatap mataku lembut, jari-jarinya yang baru kusadari sangat mungil mengusap-usap kedua pipiku.
Chu~
Dia mendaratkan ciumannya dibibirku, menyesapnya lembut dan tenang. Ini ciuman pertama kami. Jantungku hampir meledak dan pipiku terasa memanas mendapati kenyataan kami sudah saling mencintai. Aku mencintai suamiku…
Kubalas ciumannya dan melingkarkan tanganku kelehernya. Dia memiringkan kepalanya untuk sekedar membiarkanku bernafas sebelum akhirnya ciumannya berubah menjadi sedikit menuntut. Tangannya mendekap tubuhku erat.
“Saranghae…” bisiknya setelah ia melepas ciumannya, menatap wajahku yang memerah sekilas sebelum akhirnya kembali menciumku.
Tanpa kusadari ia sudah merebahkanku diatas kasur. Ia semakin membuatku menggila karena tidak bisa melawan bahkan aku sangat menginginkan dirinya. Ciumannya beralih pada pipi sebelum akhirnya ia menyesap leherku.
Ckleek!
Kami tersentak saat tiba-tiba mendengar knop pintu yang terbuka. Kami melirik kearah pintu dan cepat-cepat mengubah posisi kami begitu melihat eomma dan pengacara Jongwoon yang menatap kami dengan mata membelalak dan mulut yang menganga.
“Ehm…” dehem Jongwoon untuk mengubah suasana dan mereka seperti tersadar dan menutup mulutnya. Aku menunduk malu sembari merapikan pakaian dan rambutku. Aish… untung kami masih pada tahap ciuman.
“Ada apa pengacara Cho?” Tanya Jongwoon akhirnya. Eomma dan pengacara berjalan kaku menghampiri kami. Pengacara Cho menyerahkan amplop kepada Jongwoon.
“Aku membawa surat cerai kalian dan berniat meminta tanda tangan nyonya Kim,” ujarnya. Jongwoon mengangguk pelan dan membuka surat itu. Sudah terdapat tanda tangannya disana.
“Kau memanggilnya nyonya Kim. Itu artinya kami masih suami istri dan kami tidak akan pernah bercerai.”
Sreek!
Jongwoon merobek surat itu menjadi beberapa bagian lalu membuangnya ketempat sampah. Eomma dan pengacara Cho kembali terkejut namun dengan cepat mereka merubah ekspresi mereka dengan tersenyum lega.
“Aku senang melihat hubungan kalian membaik,” ujarnya tulus.
“Kamsahamnida…” ucapku dan Jongwoon bersamaan. Ia masih mengulas senyum saat meminta izin untuk pergi. Eomma malah menangis haru karena bahagia. Eomma yang selalu mendukungku tentu saja bahagia karena aku juga bahagia. Aku segera memeluknya seiring air mataku yang turun lagi. Aku jadi cengeng akhir-akhir ini dan semua karena Jongwoon.
“Aku tidak terlambat eomma, aku tidak untuk terlambat menyadari semuanya…” ujarku. Eomma mendekapku erat dengan tangan yang membelai rambutku lembut.

***

            “Oppa…” ujarku kaget saat melihat Jungsoo oppa masuk kekamar rawat saat aku membereskan barang-barangku. Hari ini aku dibolehkan pulang. Jongwoon sendiri sedang mengurus administrasi.
“Chukkae…” serunya senang sembari memelukku. Tak lama dia melepas pelukan lalu menatapku hangat.
“Akhirnya kau sudah menyadari perasaanmu. Semoga kau berbahagia dengan Jongwoon.” Dia tersenyum lembut. Aku menggigit pelan bibirku karena melihat sikapnya. Dia menunjukkan sikap yang berbanding terbalik dengan perkiraanku.
“Maaf aku bersikap egois padamu, memaksamu kembali lagi padaku padahal aku tahu dalam hatimu sudah ada Jongwoon.”
“Maksud oppa?”
“Sejak aku memintamu untuk kembali padaku aku sudah bisa melihat kalau kau sudah jatuh cinta pada suamimu sendiri tapi kau tidak menyadarinya. Hal itu kujadikan kesempatan untuk kembali menarik hatimu. Awalnya aku berhasil tapi akhirnya kau menyadari kalau kau membutuhkan kehadiran Jongwoon. Aku gagal tapi aku senang karena kau bahagia…”
Aku tertegun mendengar pengakuannya. Bagaimana aku bisa sebodoh ini? Aku terlambat menyadari semuanya sedangkan orang lain saja bisa melihat seberapa penting eksistensi Jongwoon dalam hidupku. Aku tersenyum lega dan Jungsoo oppa juga masih tesenyum.
“Mianhae oppa keundae gumawo… aku yakin oppa akan menemukan yang lebih baik dariku.”
“Tentu saja seperti kau yang menemukan seseorang yang lebih baik dariku. Pada akhirnya masing-masing kita akan menemukan takdir kita sendiri, seseorang yang bisa membuat hidup kita bahagia dan saling melengkapi satu sama lain.”
“Walaupun untuk menemukan seseorang itu kita membutuhkan banyak perjuangan. Benarkan?” sambungku yang dibalas anggukannya. Dia mangacak-acak rambutku. Tak lama kami berdua tertawa kecil. Untuk pertama kalinya aku merasakan kebahagiaan sebesar ini. Perjuanganmu tidak sia-sia Jongwoon-ah…

***

            “Jongwoon-ah, ini rumah siapa?” tanyaku bingung saat Jongwoon membawaku kesini. Tempat ini begitu indah, dekat dengan pantai. Pohon sakura tumbuh dengan kokoh berjajar mengikuti pagar kayu yang mengelilingi rumah. Halamannya ditumbuhi rumput hijau yang menyegarkan mata dan yang paling kusuka adalah dinding rumah yang sebagian besar terbuat dari kaca. Dia tidak menjawab dan menggenggam tanganku, membimbingku masuk kehalamannya. Jalan setapak membawa kami tepat didepan pintu. Dia merogoh sakunya lalu memperlihatkan sebuah kunci padaku.
“Bukalah…” ucapnya. Aku pun mulai membukanya. Jujur aku sangat gugup saat ini dan entah kenapa alasannya. Mataku membulat sempurna mendapati furniture rumah yang benar-benar seperti impianku, berwarna putih.
“I…ini..” ujarku gagap.
“Ini rumah kita,” bisiknya di telingaku.
“Rumah kita?” tanyaku tidak percaya. Dia mengangguk lalu memelukku dari belakang, menumpukan dagunya dipundakku.
“Ini rumah yang sudah kupersiapkan sejak dulu, sejak kita menikah. Dulu aku sangat yakin untuk membuatmu mencintaiku dan aku mempersiapkan rumah ini dengan harapan kita akan bahagia disini. Tempat ini akan menjadi saksi cinta kita, tempat dimana kita akan melihat bagaimana anak-anak kita tumbuh dengn baik, tempat dimana kita akan menua bersama.”
Air mataku menitik pelan mendengar kata-katanya. Pelukannya di pinggangku makin erat dan akupun makin menggenggam jari-jarinya.
“Ditempat ini aku akan membuatmu bahagia karena cintaku,” lanjutnya. Aku melepas pelukannya dan berbalik, melingkarkan tanganku kelehernya.
“Dan aku juga akan membuatmu bahagia karena cintaku,” ujarku yang dibalas senyumnya. Aku mendaratkan kecupan singkat dibibirnya dan ia membalasku dengan beberapa kali kecupan di kedua pipi, hidung dan dahiku sebelum akhirnya ia memangut bibirku.
“Kita akan memulai kebahagian itu…” ucapnya. Aku sudah tidak lagi menginjak tanah karena dia sudah mengangkatku dan membawaku masuk lebih jauh kedalam rumah tanpa melepas ciumannya.
Cinta memang pernah membuatku sakit tapi saat aku sadar kalau cinta juga membuatku bahagia berkali-kali lipat bahkan membuatku melupakan kesakitan itu.
Semua ini terjadi saat aku sadar bahwa aku mencintaimu Kim Jongwoon.

THE END~~~~~~~